Cerita ini masih cukup hangat. Kejadiannya baru pertengahan tahun 2016 yang lalu. Waktu itu, ada
cowok yang deketin gue. Awalnya gue enggak nyadar kalo dia naksir, maklum gue tipe cewek yang
cukup cuek. Dia suka banget kontak gue. Dari situ mulai curiga kalo cowok ini ada perasaan sama
gue. Cuma ya dasar cuek, gue hanya menganggap dia sebagai teman. Ada dua bulanan dia intens
kontak gue. Suatu hari dia ngomong ke gue lewat chat, intinya sih dia ngaku kalau dia naksir gue.
Yang bikin gue baper (bawa perasaan) ternyata dia naksir gue dari awal tahun (wow!!!). Berhubung
gue cuma menganggap dia sebagai teman, udah pasti gue jawab kalau gue bakal pikirin dulu
pernyataan dia ke gue. Ditambah lagi, setelah gue ikut Basic Program Adorable Eve-nya TOBIT, gue
jadi lebih selektif dalam milih cowok. Gue pengen mencari sosok cowok seperti yang dijelaskan di
TOBIT, yaitu sosok seorang cowok yang bisa mencintai seperti gambaran Kristus mencintai.
Beberapa kriteria yang gue cari dari seorang cowok, ditambah setelah ikut program-program dari
TOBIT, ada dalam diri cowok ini. So, gue ngerasa apa salahnya kalau mencoba untuk menjajaki
hubungan dengan dia. Akhirnya, gue bilang kalau mau jadi pacarnya. Singkat cerita, gue pacaran
sama dia. Kita jalan bareng, nonton bioskop, bahkan gue pun sudah diajak ketemu sama
keluarganya. Namun sayang, seiring berjalannya waktu, ternyata poin-poin yang selama ini gue liat
dari dia, menurut gue, cuma kulit luarnya saja. Gue mulai melihat jati diri dia yang sebenarnya. Gue
mulai melihat berbedanya dia dengan saat hanya sebagai teman. Dia mulai menunjukkan perilaku
yang berbeda dalam mencintai seperti gambaran Kristus. Dia kurang bisa mengambil keputusan dan
mulai egois. Lama-kelamaan membuat gue ill feel. Melihat perubahan dia yang seperti itu, gue
melakukan discernment, apakah lanjut pacaran atau mendingan putus saja. Setelah proses
discernment, gue melihat kalau sebaiknya hanya berteman dengan dia, enggak lebih dari itu. Gue
pun ngomong sama dia, kalau jauh lebih baik hanya temenan saja. Untungnya, cowok ini bisa
menerima keputusan itu.
Setelah pengalaman ini, gue introspeksi diri. Apakah pacaran sama dia karena lust semata atau love.
Ternyata, gue pacaran sama dia karena lust. Sejak kejadian itu pulalah, gue semakin ketat
mengaplikasikan kriteria dalam memilih cowok. Enggak cuma kriteria diri seorang cowok, tetapi
kriteria bagi diri sendiri. Sebagai contoh, pada saat gue naksir cowok, gue akan bertanya pada diri
sendiri, kenapa naksir cowok ini. Bila diri gue menjawab dengan jawaban-jawaban umum seperti,
karena dia baik, dia tinggi, dan sebagainya, gue akan terus mempertanyakan diri sendiri. Gue mau
menekankan pada diri sendiri, kalau gue itu menjalin hubungan harus benar-benar karena love dan
bukan karena lust. Gue pun mengingatkan diri sendiri, biarpun single, gue bisa jadi single yang
happy. Gue bisa melakukan berbagai hal disukai dan mengembangkan talenta yang dimiliki, yang
nantinya, talenta itu bisa dibagikan ke orang-orang di sekitar. Gue bukan cewek lemah yang harus
selalu didampingi oleh seorang cowok agar terlihat kuat. Gue adalah puteri kesayangan Allah.
Kontributor : Lucia Wahyuni, alumni Basic Program dan Adorable Eve
Blog : shirayukikoori.blogspot.com
Comments